Home / Opini

Sabtu, 6 Agustus 2022 - 17:16 WIB

Terima Kasih Iqbal Keumala

Foto: Postingan klarifikasi Ketua PC SEMMI Kota Banda Aceh terkait penggunaan atribut HMI/Ist.

GUBRIS.COM – Saya mendengar dan membaca sebuah polemik. Aktivis berdebat soal penggunaan atribut organisasi. Menurut para pengurus organisasi dan seniornya, tindakan itu tidak etis. Pelaku kemudian diharuskan meminta maaf melalui media. Sebelumnya permintaan maaf melalui surat bermaterai.

Sebagai mantan kader organisasi itu, saya tidak ingin terjebak pada sikap emosional. Apalagi reaksioner berlebihan. Mari kita coba telaah pelan-pelan. Mari kita coba analisis dengan pikiran jernih. Kita gunakan metode ilmiah agar tidak didapati kebenaran emosional belaka.

Katakanlah pelaku memang bermaksud menghina atau mengejek. Katakanlah pelaku tidak berhak menggunakan atribut itu. Pertanyaannya, dari siapa ia mendapatkan atribut itu. Jika ia mencuri maka dapat dikenakan pidana apalagi ada kader organisasi itu yang melapor. Jika ia mendapatkan atribut dari kader organisasi itu, berarti kader itu ikut andil atas tindakan pelaku.

Jika itu yang terjadi, kader atau anggota organisasi itu patut dikenakan sanksi lebih dibandingkan pelaku. Sebagai kader organisasi harusnya dia paham atribut organisasi itu kapan dan oleh siapa boleh digunakan. Jika memang atribut boleh digunakan siapapun, lalu mengapa kemudian mengharuskan pengguna atribut diharuskan meminta maaf.

Prinsip adil harus diterapkan dalam kasus ini. Setiap pelaku, entah itu pengguna maupun pemberi atribut harus diposisikan adil. Jika pelaku salah maka pemberi atribut lebih salah lagi. Pengguna atribut bukan anggota sehingga wajar ia tidak tahu menahu mekanisme penggunaan atribut. Sementara pemberi adalah anggota, harusnya dia paham mekanisme itu.

Baca Juga  Anjing Liar

Saya mengira kita sudah selesai dengan era simbolistik. Kita sudah berdebat dan diskusi soal pengembangan sains. Tapi realitas dari kasus itu memberi jawaban, mahasiswa masih terjebak pada ego-kelompok dan organisasi. Masih meng-agungkan benda ketimbang subtansi mereka sebagai masyarakat sosial yang ilmiah. Harusnya mereka berkumpul membahas kampus yang sudah mengkondisikan feodalisme pikir.

Kampus yang tidak lagi kritis, kampus yang pola pikirnya dibentuk seragam sehingga berpikir kritis dan kreatif dianggap ancaman bagi rektorat. Kampus yang memasung gerak dan tindakan mahasiswa. Kampus yang senang mempolarisasi gerakan mahasiswa bahkan kampus yang menjadikan lembaga internal sebagai kaki-tangan rektorat.

Jika kita membaca dan mengkaji sejarah, situasi ini pernah terjadi di masa orde baru. Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), telah mereduksi peran dan fungsi mahasiswa. Mahasiswa dilarang kritis terutama pada kebijakan rektorat. Mahasiswa dibebani tugas akademik, ditakuti dengan akademik dan dosen.

Pola itu sukses sampai mahasiswa sadar. Feodalisme dan kolonialisme itu bukan hal yang baik. Mereka sadar bahwa makna hidup bukan sekedar menyenangkan diri sendiri. Kebebasan itu sunatulah, kebebasan itu mahal. Gerakan mahasiswa bangkit dan puncaknya orde baru harus berganti dengan orde reformasi.

Sejatinya perjuangan itu belum berakhir. Pasalnya, negeri kita masih dipimpin politisi bermental trader. Masih senang menjual rakyat dan agama demi kekuasaan. Bahkan sekarang menginvasi kampus dengan pola pikir seragam. Kampus tak jauh beda dengan sekolah, bahkan lebih buruk lagi.

Baca Juga  Teori Kognitif Sosial : Walter Mischel

Belajar dari sejarah, ketika lembaga internal dijadikan pengawal birokrat, lembaga ekstra-kampus harus menjadi harapan. Lembaga ekstra-kampus lebih kritis, bukan lagi menyoal simbolistik organisasi. Seperti kasus yang saya ceritakan di atas. Lembaga ekstra-kampus harus mampu menjadi penampung aspirasi mahasiswa dan rakyat sekaligus.

Mereka, entah itu HMI, PMII, PII, harus menjadi agent of idea sekaligus perubahan. Namun bagaimana mahasiswa menjadi agen ide dan perubahan, jika sesama mereka saling curiga dan fitnah. Bagaimana mereka bicara perubahan, jika lembaga ekternal dimusuhi seperti orde baru memusuhi PKI. Stigma negatif dibangun sehingga lembaga kemahasiswaan jadi piaraan.

Dan paling menyedihkan lagi ketika mahasiswa berkumpul untuk menghukum penggguna simbol. Apa yang dilakukan adinda Iqbal sejatinya promosi lembaga. Kalaupun ia bermaksud melecehkan dan menghina, bukankah itu makanan perjuangan. Harusnya ucapan terima kasih dilontarkan karena negative campaign sekalipun tetap bentuk promosi.

Bukankah hinaan tidak membuat kita rendah di hadapan illahi. Dan pujian manusia juga tidak menjadikan kita nabi dan rasul. Mengapa harus kebakaran kumis dan jenggot hanya karena sebuah postingan manusia menggunakan atribut. Bukankah demokrasi mengajarkan kebebasan berekspresi. Bukankah sebuah foto bicara seribu makna bahkan lebih

Melalui tulisan ini saya ucapkan terima kasih kepada Iqbal Keumala. Melalui tindakannya kader organisasi di mana saya pernah berproses telah kembali merenung. Semoga saja berpikir lebih bijak, dan memahami subtansi berorganisasi.

Penulis: Don Zakiyamani (Alumnus HMI Banda Aceh)

Editor: Redaksi gubris.com

Share :

Baca Juga

Opini

Menggali Sejarah Konflik dan Mempertahankan Keadilan Bagi Rakyat Palestina

Opini

Aceh, Perempuan dan Golput

Opini

JIMI: Pj Gubernur Aceh Blunder Jika Bentuk Tim Kerja

Opini

“Jatuh Cinta Berkali-kali”

Opini

Cinta itu Serakah

Opini

Pembaharuan Aparatur Negara Dalam Melancarkan Tata Kelola Pemerintahan Yang Lebih Efektif dan Efisien

Opini

Gayo Lues Tingkat Populasi Stunting Tertinggi di Aceh

News

2 Tahun Berjalan, Pengurus IMPS Dinilai Gagal Menjalankan Amanah Organisasi