Foto: T. Fajar Ilham/doc. Ikhsan drp
Oleh: T. Fajar Ilham
GUBRIS.COM-Pikiran yang tercerahkan adalah inspirasi, perasaan yang tercerahkan adalah imajinasi, dan kehendak yang tercerahkan adalah intuisi.
Rumi dalam Fihi Ma Fihi, dikisahkan, seorang santri bertandang pada seorang Syekh guru ke rumahnya. Rupanya si santri ini dapat cerita dari kawannya yang pernah sowan kepada Syekh guru, bahwa beliau kerap berbagi kisah yang mengandung hikmah, sang santri kita itu tertarik.
Namun, setelah sekian lama hingga pertemuan itu usai, Syekh guru ini tidak berbagi kisah hikmah sama sekali. Singkat cerita, sang santri belakangan sadar bahwa kisah hikmah itu tidak keluar dari penuturan sang guru, karena sang guru lewat mata batinnya melihat bahwa sang santri ini sama sekali tidak membutuhkannya. Sehingga tidak berhasil memaksa sang guru mengeluarkan kisah hikmahnya.
Miskin Sabar, Kalau Kaya Bersyukur
“Si Anu, kasihan hidupnya, tiap hari harus banting tulang hanya sekadar untuk menutup utang, padahal salatnya rajin”
“Pak fulan mah, orang yang paling enak hidupnya di komplek sini, pulang pergi diantar sopir pribadi, mana pembantunya di rumahnya lima orang lagi”
Begitulah kira-kira yang acap kali kita dengar tentang obrolan manusia seputar realita hidup antara kaya dan miskin. Sekarang mari kita pahami, apa kaya dan miskin itu?
Allah telah menentukan pembagian rezeki di antara hamba-hamba-Nya, untuk keseimbagan umat manusia dalam menjalankan kehidupannya di bumi.
Adapun bagi orang yang ditakdirkan miskin, maka di antara hikmahnya, agar hamba yang miskin tersebut merasa senantiasa bertawakal, mengharap, dan mendekatkan diri kepada sang pencipta dan ia pun berkesempatan meraih derajat orang-orang yang bersabar.
Demikian juga bagi orang yang kaya, ia akan mengetahui dan merasakan betapa besarnya nikmat Allah atas dirinya. Sehingga akan terdorong untuk mensyukurinya, karena ia sadar bahwa kekayaan itu adalah ujian, maka ia berusaha jalani ujian itu dengan sebaik-baiknya, sehingga ia menjadi golongan orang-orang yang bersyukur kepada Allah.
Jika demikian sikap keduanya si miskin dan si kaya tersebut, bagi seorang muslim sama saja, yaitu: “sama-sama sebagai ujian dari Allah”. Sebagaimana ujian, dari sinilah akan terlihat secara proses mana yang lebih bertakwa di antara si kaya dan si miskin itu.
Wahai saudaraku yang sedang ditakdirkan miskin, ingat janji Allah berikut ini. “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas” (Az-Zumar:10).
Wahai saudaraku yang sedang diuji dengan kekayaan, ambillah contoh panutan dalam menyikapi kekayaan, yaitu Nabi Sulaiman as, seperti yang dikisahkan dalam kisah Kerajaan Sulaiman dan ratu Saba: “Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, dia pun berkata: Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari akan nikmat-Nya. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk kebaikan dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku maha kaya lagi maha mulia (An-Naml:40).
Perjalanan Hidup
Jiwa yang sensitif itu lebih peka terhadap rasa ketimbang pengetahuan. Makhluk yang dirundung kesedihan di bawah naungan matahari seringkali tertimpa oleh dua kekuatan realitas hidup. Pertama hidup di usia muda seperti lilin yang menerangi dunia, namun terbakar akan diri yang begitu berenergi tanpa memperdulikan angin waktu yang semangkin lama semakin mengikis semangat muda itu, dan kedua hidup di usia tua, adalah masa dimana kesunyian sebagai teman, laksana uzla yang menepi di pojok-pojok masjid merenungi dan menanti sahabat yang datang untuk mengajaknya pulang ke rumah kebagian abadi.
Hidup berarti menderita, bertahan hidup berarti menemukan makna dalam penderitaan kata Nietzsche. Viktor Frank bertahan hidup dengan cara memupuk ingatan tentang istrinya dan berharap akan bertemu kembali dengan wanita yang ia cintai. Dalam catatan sejarah umat manusia yang pernah diberikan kesempatan hidup di planet mungil ini ada miliaran yang menginginkan kehidupan yang layak ataupun tidak layak, namun seiring waktu akan meninggalkan dunia ini.
Pepatah lama mengatakan “gajah mati meninggalkan gading”. Namun demikian, manusia tentu lah jauh melampaui gajah. Dalam film the equalizer dikisahkan pada lawan yang ingin dia eksekusi untuk mempertimbangkan atas perbuatannya, katanya:”di dunia ini hanya ada dua penderitaan. Pertama penderitaan yang mengubahnya menjadi penyakit, sehingga memperburuk kehidupannya dan kedua penderitaan yang mengubah diri untuk menjadi sembuh untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya”.
Katakanlah contoh sebagaimana Kahlil Gibran yang menderita karena percintaan hingga menjomblo sampai mati, namun penderitaan itu dia ubah menjadi puisi cinta sebagaimana dalam sayap-sayap patah.
Hidup itu singkat, buatlah jadi bermakna kata Dale Carnegie. Penulis buku best seller ini ingin mengatakan kepada kita sebagaimana yang diharapkan Jalaluddin Rumi kepada umat Nabi Muhammad yang sedang dirundung nestapa teknologi global. “Jika engkau belum mempunyai ilmu, hanyalah prasangka, maka milikilah prasangka yang baik tentang Tuhan. Jika engkau hanya mampu merangkak, maka merangkaklah kepada-Nya. Jika engkau belum mampu berdoa dengan khusyuk, maka tetaplah persembahkan doamu yang kering, munafik dan tanpa keyakinan, karena Tuhan, dengan rahmat-Nya akan tetap menerima mata uang palsumu”.
Begitu lah ketajaman intuisi seorang sufisme pendiri tarekat “Malawi” mampu menyamakan maksud tokoh barat yang berbicara tentang kehidupan yang bermakna dalam menjalaninya sebagai Khalifah di bumi.
Penulis adalah Sufi Muda Aceh