Foto: Tonicko Anggara dan sahabat pengawal intelektual/Ist.
GUBRIS.COM-Beberapa hari lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kebijakan pemerintah pusat mengenai kenaikan harga BBM, seperti Pertalite, Pertamax dan Solar.
Singkatnya, keputusan pemerintah pusat menuai kritikan dikalangan masyarakat, berbagai macam argumentasi pun muncul ke publik untuk mencoba mengkritik bahkan menolak keputusan pemerintah tersebut.
Tidak tinggal diam, kalangan intelektual yang dikenal sebagai idealisme (Mahasiswa) ikut pro aktif dalam menolak harga BBM.
Dari satu sisi bisa terbilang unik dan dari sisi lain bentuk penolakan di kalangan mahasiswa terhadap kenaikan harga BBM terlihat aneh.
Bisa kita lihat di salah satu kota yaitu Banda Aceh, dimana kota yang memiliki dua universitas dengan tagline “Jantong Hatee Rakyat Aceh” yakni Universitas Syiah Kuala dan juga Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.
Pada dasarnya, universitas tersebut sama-sama melakukan aksi demonstrasi terkait dengan isu nasional seperti kenaikan bahan bakar minyak, listrik, kesejahteraan masyarakat Aceh, pendidikan dan menuntaskan kemiskinan.
Namun anehnya, aksi tersebut tidak dilakukan secara serentak, mulai dari jadwal dan lokasinya pun berbeda. UIN di depan gedung DPRA sedangkan USK di depan kantor Gubernur Aceh.
Lantas penulis dan juga beberapa mahasiswa mulai bertanya-tanya, ada apa dan mengapa aksi demo kedua universitas tersebut tidak dilakukan secara serentak? Apakah mereka sudah pisah ranjang?
Karena penulis sebagai penghulu dan tidak ingin kedua universitas cerai, maka penulis mencoba menjawab dan mendamaikan kedua pasangan almamater dan menjawab isu yang beredar.
Disini, penulis mencoba sedikit menjelaskan sebagai langkah awal. Pertama penulis mengkonfirmasi kepada pihak terkait agar isu yang beredar di masyarakat benar-benar valid.
Dikarenakan sepanjang aksi demo yang tercatat dan yang pernah dilakukan oleh kedua universitas seperti PT EMM, RUU KPK, RUU KUHP dan Omnibus Law dilakukan secara serentak dan bersama-sama atas nama Alian Mahasiswa Aceh.
Menjawab hal yang sedang hangat ini, penulis melakukan diskusi dengan salah satu petinggi di BEM USK yaitu Rahmat Fahlevi selaku KEMENPOLHUKAM BEM USK.
Beliau menyampaikan kepada penulis bahwasannya, tidaklah benar mengenai isu perbedaan jadwal aksi yang disebabkan oleh merenggangnya hubungan USK dan UIN Ar-Raniry.
Mahasiswa USK dan UIN mulai dari hari pertama hingga hari ini tetap berkoordinasi terkait pergerakan. Memang kedua belah pihak mahasiswa mempunyai goals yang sama dan point tuntutan yang relatif berbeda.
Akan tetapi tidak terdapat gesekan di antara kedua perguruan tinggi tersebut, hanya saja terdapat sedikit kendala teknis yaitu UIN lebih dahulu dari pada USK mengenai kepengurusan administrasi, seperti surat pemberitahuan aksi, sehingga kedua universitas tersebut melakukan aksi seolah seperti shift.
Disamping isu nasional, USK juga membawa segudang tuntutan isu daerah sebanyak 25 poin tuntutan, mulai dari kemiskinan, DOKA, pendidikan, ekonomi, pelecehan seksual hingga konflik agraria.
Kesimpulan yang dapat di tarik oleh penulis, kedua pergerakan ini lebih kepada gerakan komplementaris atau pelengkap.
Disatu sisi mahasiswa UIN menduduki dan mengawal isu melalui legislatif dan mahasiswa USK mendobrak kantor Gubernur Aceh menyampaikan isu daerah dan inilah yang disebut sebagai bentuk masif tuntutan dan penyampaian aspirasi secara simultan.
Presiden mahasiswa USK, Zawata Afnan juga menyampaikan kepada penulis melalui pesan Whatsapp, bahwasannya perbedaan jadwal dan lokasi demonstrasi USK dan UIN Ar-Raniry itu merupakan pola pergerakan.
Penulis merasa penjelasan lewat penyataan dari petinggi universitas dan Menkopolhukam USK ini cukup untuk menjadi jawaban tervalidasi guna menjawab asumsi liar yang beredar di kalangan mahasiswa dan masyarakat, terkait perbedaan hari dan lokasi.
Penulis: Tonicko Anggara Penghulu Almamater Universitas
Editor: Redaksi gubris.com