Foto : Atjeh War/Pinterest
Aceh merupakan warisan dari nenek moyang terdahulu. Berbicara tentang Aceh sama halnya berbicara tentang Islam dan berbicara tentang Aceh juga berbicara tentang kerajaan Islam pertama di nusantara.
Masa sekarang merupakan perpanjangan dari masa lampau. Berbicara masa sekarang layaknya kita harus berbicara masa lampau, karena tidak ada masa sekarang jika tidak ada masa lampau.
Kita perlu mengetahui dan memahami serta mengkaji atau mempelajari masa lampau, dengan tujuan agar kita dapat mengambil pedoman serta pelajaran dari padanya. Dengan mengetahui sejarah budaya dan adat berarti kita telah berhasil mengangkat harkat dan martabat serta jati diri bangsa.
Banyak sumber yang mengabarkan bahwa Aceh dengan berbagai peristiwa bersejarah menunjukkan bahwa Aceh tempoe doloe pernah berjaya dan hebat serta banyak berjasa pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berangkat dari kehebatan Aceh tempo doloe, maka banyak sekali predikat ataupun gelar yang diberikan oleh peneliti luar dan dalam negeri kepada Aceh. Gelar dan kehebatan Aceh tidak terlepas oleh dari penganut agama Islam serta penganut pertama kali yang bertapak di nusantara yaitu di daerah Aceh.
Aceh hebat dalam rotasi peristiwa ketika kerajaan Islam pertama sekali di nusantara, dengan bangga dan meugah sehingga mempengaruhi iklim persejarahan di nusantara hingga sekarang.
Tidak hanya cerita, kemegahan kerajaan Islam pertama juga dibuktikan oleh jejak serta peninggalan masa lampau, seperti nisan yang bertuliskan Makam Malikul Saleh, naskah-naskah seperti Hikayat Raja-Raja Pasai.
Dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah pada awal abad ke XVII, semua kerajaan digabungkan menjadi kerajaan Aceh Darussalam. Batutah mengatakan bahwa agama Islam dan kerajaan Islam pertama di nusantara sebelum menjadi satu kerajaan, antara lain ialah Pasai, Peurlak, dan Lamuri.
Aceh hebat juga dikenal ketika menjalin hubungan dengan kerajaan Turki, pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah Al Kahhar, pada tahun 1537-1571. Saat itu, Aceh meminta bantuan kepada Turki untuk memerangi Portugis di Malaka dengan mengirimkan beberapa utusan ke Turki.
Kerajaan Turki kala itu merupakan kerajaan Islam terbesar dan populer dengan sebutan Khalifatul Islam Osmaniah. Uniknya dalam hubungan bilateral para utusan yang dikirim oleh Sultan Al Kahhar membawa hadiah-hadiah berharga untuk dipersembahkan kepada penguasa kerajaan Turki.
Hadiah tersebut berupa emas, rempah-rempah, dan lada. Selain pemberian hadiah, para utusan Aceh pandai dalam meyakinkan pihak Turki dalam suatu keuntungan yang akan Turki dapatkan dari perdagangan rempah-rempah melalui para saudagar antarbangsa dibawah lindungan Khalifatul Islam.
Dalam hal ini, Aceh mengatakan semua keuntungan yang didapatkan apabila Portugis dapat diusir dari Malaka oleh Aceh dengan bantuan Turki. Kemulusan dan kercerdikan, utusan Sultan Al Kahhar bisa dikatakan berhasil dalam merayu Turki.
Akhirnya Turki bersedia mengirimkan bantuan kepada kerajaan Aceh berupa dua kapal Galley dan 500 orang tenaga ahli dalam bidang teknik militer dan juga dapat membuat kapal perang kelas samudera dan meriam-meriam besar.
Selain itu, dengan kenyamanan dan kepercayaan Turki kepada kerajaan Aceh dalam hubungan bilateral, pihak Turki juga menghadiahkan sejumlah meriam berat beserta perlengkapan militer kepada Aceh. Diantaranya sebuah meriam pemberian Turki dinamakan meriam Lada “Sicupak”. Saat ini, meriam tersebut disimpan di desa Blang Balok di Aceh Timur.
Dari masa lampu hingga sekarang, dalam membangun perdamaian dan menjalin hubungan, Aceh dikenal sebagai bangsa yang Meu-Adab serta karakter saling menghargai dan saling tolong menolong.
Adat istiadat Aceh dan pandangan hidup orang Aceh sangat berguna dalam menjalankan pola kehidupan serta saling keterkaitan dalam menjalankan kehidupan masyarakat Aceh hingga sekarang.
Cara hidup orang Aceh berkait dengan unsur agama Islam. Makna salam yang di ucapkan ketika setiap bertemu dan berpisah merupakan ajaran bagi seorang Aceh untuk hidup damai. Terbukti, ketika Aceh berperang melawan belanda dengan dapat dijajahnya daerah Aceh, namun dalam peperangan itu orang-orang Aceh tidak merasa kalah, namun hanya saja merasa damai.
Perdamaian secara adat tidak dapat dipisahkan, salah satunya peristiwa bersejarah di Aceh yang dinamakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh pada tahun 1962 di lapangan Blang Padang, yang berkaitan dengan peristiwa DI/TII.
Dalam peristiwa perdamaian DI/TII yang di pimpin oleh Tgk. Mohd. Daud Beureueh dengan pemerintah RI, maka lahirlah Piagam Blang Padang.
Dengan adat, masyarakat Aceh akan terjalin suatu ukhuwah dengan pengertian yang kental akan keharmonisan, hingga dapat mengesampingkan pandangan ethocentris yang bisa saja timbul pada segolongan suku.
Pembuktian berupa peninggalan serta jejak sejarah yang masih tersimpan rapi, seharusnya ini menjadi contoh dalam membangun hubungan antara dua negara pada masa kejayaan Islam di Aceh terdahulu.
Karena bangsa yang hebat ialah bangsa yang tidak melupakan sejarah. Bahkan Soekarno mengabadikan semboyan jangan melupakan sejarah, mengingat sejarah sama saja menghormati bangsa.
Penulis : Agung Z