Foto: Muhammad Al Auza/Ist.
GUBRIS.COM, BANDA ACEH – Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Muhammad Al Auza, menyayangkan terkait UUPA yang seolah menjadi bius politik terhadap masyarakat Aceh.
Dia menyebutkan, lahirnya produk hukum yang sering disebut UUPA tersebut merupakan media implementasi dari Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang ditandatangani antara perwakilan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan perwakilan Pemerintah Republik Indonesia, pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia Untuk menyelesaikan konflik yang berkepanjangan di Aceh dan GAM sendiri memilih jalur kooperatif dalam melakukan perjuangan barunya.
Kesepakatan MoU yang telah di sepakati oleh kedua belah pihak antara RI dan GAM telah berlangsung selama 17 tahun, akan tetapi realisasi UUPA masih ada beberapa point penting yang masih terbengkalai.
“Saya rasa jika melihat Aceh saat ini dalam usia 17 tahun perdamaian sudah menjadikan provinsi yang makmur dan sejahtera namun hal tersebut hanyalah hayalan segelintir orang, masih banyak hal – hal yang belum sepenuhnya terselesaikan” tegasnya
Lantas siapa yang harus kita salah kan apakah para oknum elit pejabat politik atau siapa? Tanyanya lebih lanjut
Menurut Auza masalah Aceh hari ini bukan siapa kedepannya yang akan memimpin akan tetapi Aceh akan menjadi apa kedepannya, karena masyarakat saat ini sudah mengetahui siapa dan apa yang harus di lakukan oleh sekelompok orang yang yang selanjutnya akan menjadi penerus estafet kepemimpinan di Aceh baik itu di tingkat eksekutif maupun legislatif.
Lebih lanjut Auza mengatakan belum lagi permasalahan terkait realisasi UUPA sampai saat ini pun tidak kunjung selesai seperti layaknya “anak remaja yang belum mengetahui arah massa depannya”.
Dia berharap UUPA jangan dijadikan sebagai agenda politik semata oleh segelintir oknum politik untuk kepentingan tertentu. UUPA bukan barang kampanye (jualan ), UUPA adalah masalah serius jangan memikirkan seolah olah pihak tertentu yang berbicara bisa mengatasi terhadap realisasi UUPA, saat ini yang di perlukan bukan berbicara tanpa fakta akan tetapi fakta dan realita untuk masyarakat.
Dalam hal ini dia juga mengajak untuk coba kita kaitkan dengan teori konser good governance kritik 3 sisi terhadap UUPA , pertama Lemahnya insiatif dan penerapan strategi pembangunan, baik pembangunan material atau pembangunan SDM, misalnya sisi pelayanan medis di Aceh sangat kurang atau tingkat pendidikan yang masih tergolong buta huruf, sisi kedua Birokrasi yang Korup. Sisi ketiga yang mesti mendapat perhatian serius adalah menyangkut iklim perpolitikan yang tidak sehat, elit politik di atur oligarki untuk kepentingan proyek – proyek pembangunan.
Menurutnya analisis ini menunjukkan bahwa UUPA tidak menjamin kesejateraan masyarakat Aceh. Sehingga Aceh bukan milik elite politik saja, Aceh adalah milik seluruh masyarakat Aceh yang menurut Auza bahwa semua orang Aceh hari ini sama – sama memprihatinkan kondisi aceh saat ini, mungkin kedepannya kita harus adanya penyegaran kepemimpinan dari berbagai sektor yang ada di Aceh serta pemimpin tersebut harus di awasi oleh orang orang yang benar-benar bekerja demi mewujudkan Aceh emas 2035 yang akan datang.
Lebih lanjut dia mengajak untuk melihat kondisi Aceh hari ini untuk kita sama-sama membuka pemikiran dan berdiskusi bersama agar menghasilkan output yang relevan bukan hanya diskusi semata yang hanya menghasilkan eforia tanpa ada tindakan lebih lanjut.
Editor: Redaksi gubris.com