Foto: Don Zakiyamani (kiri), Ikhsan Drp (kanan)/Credit: Bang Lah
GUBRIS.COM – Semalam saat dinner bersama, beliau dengan lancar berkisah Zainuddin dan Hayati. Pemeran utama dalam film “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Saya belum pernah menonton film itu. Berdasarkan kisah dari beliau, film tersebut berkisah tentang roda depan dan belakang.
Roda depan dan belakang selalu bersama namun tidak bersatu. Zainuddin dan Hayati mengubur cintanya bak harta karun, kita dapat nengambil pelajarannya. Misalnya, patah hati menghasilkan karya tulis yang bermutu.
Machiavelli patah-hati pada politik, lahirlah “il principe”. Karya tulis yang sampai sekarang dijadikan rujukan bagi politisi. Karya yang selalu dibawa Napoleon bahkan konon selalu dibaca sebelum tidur.
Libertarianisme melihat kisah itu sebagai contoh bagaimana kebebasan individu terpenjara. Sains menyelidiki mengapa kapal mewah itu tenggelam. Melalui neurosains, kita bahkan dapat melihat bagaimana dopamin manusia yang sedang jatuh cinta. Bagaimana brain (otak), mind (akal) dan reasoning (nalar) berperan.
Realisme melihat kisah itu sebagai fenomena yang bahkan masih terjadi hingga kini. Di mana uang, tahta, adat (termasuk ras dan etnis), adalah aktor utama dalam kisah itu. Realisme bicara peran keluarga yang menginginkan sosok terbaik untuk pendamping anaknya. Budaya patriarki memaksa Hayati memilih sesuai pilihan keluarga.
Menurut realisme, Zainuddin pernah salah. Harusnya ia sadar, cinta saja tidak cukup. Ia harus mapan. Bagi libertarian, kebebasan individu dimulai ketika kebebasan finansial terpenuhi. Di sini, realisme dan libertarianisme ketemu.
Beda halnya dengan idealisme. Bagi mereka Hayati adalah pengkhianat. Hayati harusnya berjuang bersama Zainuddin jika ia benar-benar mencintai Zainuddin. Bukan mengikuti keinginan orang lain, di sini idealisme ketemu libertarianisme. Kebebasan memilih. Manusia makhluk otonom.
Meski demikian, Zainuddin tetap harus berterima kasih pada Hayati. Karyanya lahir akibat ditinggal Hayati. Empirisme melihat kisah mereka sebagai kajian historis. Siapa tokoh yang diabadikan namanya menjadi kapal mewah (Van Der Wijck).
Bagi Karl Marx film ini mungkin representatif perjuangannya. Kelas sosial menghalangi cinta. Padahal cinta adalah hak setiap manusia, tidak peduli dia kaya atau miskin. Toh kebahagiaan tidak dilekatkan pada harta dan tahta. Keduanya hanya kesenangan.
Teori klasik sudah bicara soal cinta. Cinta dibarengi nafsu (eros), cinta sesama sahabat atau teman (philia) dan cinta yang sejati (agape). Dalam kisah ini barangkali mereka mengalami agape. Wallahualam.
Penulis: Don Zakiyamani, Missionaries Cinta
Editor: Redaksi gubris.com