Home / Sastra

Selasa, 2 Agustus 2022 - 14:41 WIB

Belum Berjudul

Foto: Don Zakiyamani (kiri), Ikhsan Drp (kanan)/Credit: Bang Lah

GUBRIS.COM – Semalam saat dinner bersama, beliau dengan lancar berkisah Zainuddin dan Hayati. Pemeran utama dalam film “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Saya belum pernah menonton film itu. Berdasarkan kisah dari beliau, film tersebut berkisah tentang roda depan dan belakang.

Roda depan dan belakang selalu bersama namun tidak bersatu. Zainuddin dan Hayati mengubur cintanya bak harta karun, kita dapat nengambil pelajarannya. Misalnya, patah hati menghasilkan karya tulis yang bermutu.

Machiavelli patah-hati pada politik, lahirlah “il principe”. Karya tulis yang sampai sekarang dijadikan rujukan bagi politisi. Karya yang selalu dibawa Napoleon bahkan konon selalu dibaca sebelum tidur.

Libertarianisme melihat kisah itu sebagai contoh bagaimana kebebasan individu terpenjara. Sains menyelidiki mengapa kapal mewah itu tenggelam. Melalui neurosains, kita bahkan dapat melihat bagaimana dopamin manusia yang sedang jatuh cinta. Bagaimana brain (otak), mind (akal) dan reasoning (nalar) berperan.

Baca Juga  Momentum Bulan Ramadhan, ESA USK Sukses Selenggarakan RaESA 4

Realisme melihat kisah itu sebagai fenomena yang bahkan masih terjadi hingga kini. Di mana uang, tahta, adat (termasuk ras dan etnis), adalah aktor utama dalam kisah itu. Realisme bicara peran keluarga yang menginginkan sosok terbaik untuk pendamping anaknya. Budaya patriarki memaksa Hayati memilih sesuai pilihan keluarga.

Menurut realisme, Zainuddin pernah salah. Harusnya ia sadar, cinta saja tidak cukup. Ia harus mapan. Bagi libertarian, kebebasan individu dimulai ketika kebebasan finansial terpenuhi. Di sini, realisme dan libertarianisme ketemu.

Beda halnya dengan idealisme. Bagi mereka Hayati adalah pengkhianat. Hayati harusnya berjuang bersama Zainuddin jika ia benar-benar mencintai Zainuddin. Bukan mengikuti keinginan orang lain, di sini idealisme ketemu libertarianisme. Kebebasan memilih. Manusia makhluk otonom.

Baca Juga  Doa Tulus Dibalik Tsunami

Meski demikian, Zainuddin tetap harus berterima kasih pada Hayati. Karyanya lahir akibat ditinggal Hayati. Empirisme melihat kisah mereka sebagai kajian historis. Siapa tokoh yang diabadikan namanya menjadi kapal mewah (Van Der Wijck).

Bagi Karl Marx film ini mungkin representatif perjuangannya. Kelas sosial menghalangi cinta. Padahal cinta adalah hak setiap manusia, tidak peduli dia kaya atau miskin. Toh kebahagiaan tidak dilekatkan pada harta dan tahta. Keduanya hanya kesenangan.

Teori klasik sudah bicara soal cinta. Cinta dibarengi nafsu (eros), cinta sesama sahabat atau teman (philia) dan cinta yang sejati (agape). Dalam kisah ini barangkali mereka mengalami agape. Wallahualam.

Penulis: Don Zakiyamani, Missionaries Cinta

Editor: Redaksi gubris.com

 

Share :

Baca Juga

Sastra

Ibu

Sastra

Khitah Ber-HMI

Kesehatan

Puisi Pilu

Sastra

“Rindu Yang Tak Lagi Berbalas”

Sastra

Apa Itu Cinta?

Sastra

Rentang Waktu

Sastra

Laki-Laki Tidak Setia

Sastra

Tentang Awan