Home / Opini

Kamis, 16 November 2023 - 20:30 WIB

Genosida di Gaza dan Tipuan Media

Foto: Save Gaza/Ist.

Opini Oleh;

Teuku Budi Faisal, S.H.

Sejak 07 oktober lalu telah terjadinya perang di Gaza yang telah menewaskan sedikitnya 11.300 orang, sebagian besar yag menjadi korban adalah warga sipil, termasuk 4.609 anak-anak dan perempuan. Jumlah korban di Palestina dalam sebulan agresi ini telah melampaui jumlah korban tewas di Ukraina dalam perangnnya dengan Rusia. Mereka yang menjadi korban kebiadaban zionis merupakan orang tak bersalah, jelas sekali sampai saat ini Israel dengan sengaja tengah melakukan genosida di palestina. Kekejaman zionis israel dengan memusnahkan apa saja yang ada dengan alasan para zionis hanya melawan gerakan militan Hamas yang berjuang untuk kebebasan dan kemerdekaan warga Palestina serta untuk menjaga kesucian masjidil Aqsha. Kebiadaban tentara Israel dengan menghancurkan rumah-rumah penduduk palestina, sekolah-sekolah, masjid-masjid, rumah sakit bahkan semua fasilitas umum lainnya juga ikut berdampak akibat kekejaman tentara Yahudi Israel, bahkan hasil rekaman beberapa media terlihat jelas yang menunjukkan api besar yang melanda gedung-gedung bertingkat, mayat-mayat bergelimpangan, bercak darah dan puing-puing berserakan dimana-mana.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Geterres sampai mengungkapkan bahwa kondisi di Gaza selama ini menjadi “kuburan anak-anak” serta ia menyampaikan agar gencatan senjata segera dilakukan supaya tidak ada lagi korban jiwa dari masyarakat sipil yang terus berjatuhan. Namun apa daya Zionis Israel selama ini dengan lantang menolak gencatan senjata karena para zionis menilai dan menuduh waktu yang tersedia bakal digunakan militan Hamas untuk mengumpulkan kembali kekuatan, Israel memberikan syarat jika ingin gencatan senjata maka semua warga yang disandera Hamas harus dibebaskan. Bahkan bukan hanya itu saja, dukungan dari Negara-negara Barat seperti Amerika Serikat misalnya mendukung keinginan Israel dengan tidak menerima gencatan senjata, namun sebaliknya hanya mendesak untuk diberlakukannya jeda kemanusiaan saja.

Baca Juga  Dosa PJ Gubernur di Setiap Tetes Keringat Rahmat Aulia

Tidak hanya sampai disitu saja, Negara-negara Arab yang notabene beragama Islam juga seolah-olah tak berkutik terhadap kelakuan agresif militer Israel, hal ini terjadi karena disinyalir Negara-negara Arab memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) luar biasa gabungan antara Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada 11 November lalu pun tidak berdampak apa-apa terhadap kekejian tentara Israel yang terus membombardir seluruh penjuru di Palestina, pertemuan itu hanya jadi macan kertas saja karena tidak bisa mengambil sebuah sikap yang signifikan, seperti misalnya memberlakukan sanksi ekonomi.

Begitu juga dukungan dari media sosial yang dianggap sebagai tempat kebebasan berbicara telah melanggar janjinya sendiri. Penyimpangan yang mencolok antara prinsip kebebasan berbicara yang sejatinya selalu dipromosikan di media sosial dengan perlakuan yang tidak adil terhadap konten yang terjadi di Gaza Palestina. Fakta yang terjadi bahwa konten pro Palestina sering dihapuskan dan dibatasi oleh platform media sosial dengan beralasan itu adalah sebuah pelanggaran, sementara peraturannya sendiri tidak transparan. Sejumlah jurnalis pun dan konten creator yang cukup popular pun menjadi korban. Azmat Khan misalnya, seorang jurnalis New York Times pemenang Pulitzer, telah mengalami pembatasan pada akun Instagramnya sesaat setelah menguplod konten tentang kekejian perang Gaza. Selain itu Jurnalis Ahmad Shihab pun menjadi korban dengan keterangan yang tidak jelas, yaitu hilangnya akun instagramnya yang memiliki lebih dari 100.000 pengikut.

Baca Juga  Seharusnya Aku Padamu

Tidak berhenti disitu saja bahkan di Indonesia juga mengalami hal yang sama, Sejarah Hamas yang diunggah oleh creator konten Instagram hilang secara sepihak dengan alasan melanggar panduan komunitas. Akun milik dai Salim A Fillah juga mengalami beberapa kali pembatasan terhadap konten tersebut. Akibatnya adalah postingan-postingan yang diunggah tidak dapat dilihat oleh pengguna media sosial. Bahkan platform Instagram dan facebook telah mengategorikan kejadian-kejadian tersebut sebagai “ujaran kebencian” (hate speech). Dengan demikian jelas hal ini menunjukkan bahwa perusahan-perusahaan media sosial telah memoderasikan konten Palestina secara berlebihan dan tidak proporsional, hal ini malah terjadi sebaliknya bagi konten-konten pro Israel, sekalipun berisi penghinaan dan kebenciaan terhadap warga Palestina. Diskriminasi dan tidak transparansi tentunya akan memicu ketidakjelasan bahkan ketegangan dalam masyarakat. Hal ini akan mempersulit untuk mengakhiri konflik dan upaya untuk mewujudkan perdamaianpun menjadi sangat rumit. Waallahu’alam bissawab.

Penulis adalah Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala 

Editor: Redaksi gubris.com 

 

Share :

Baca Juga

Opini

M. Saleh Adalah Pilihan Cerdas Bagi Tim Kerja Gubernur Aceh

Opini

Pemuda Masjid

Opini

Tangis Haru Keluarga Pasien

Opini

Partai Mahasiswa Indonesia Mengkhianati Perjuangan Mahasiswa

Opini

“Jatuh Cinta Berkali-kali”

Opini

Gas Track, Proker Panas di BEM USK 2022

Opini

Menggali Sejarah Konflik dan Mempertahankan Keadilan Bagi Rakyat Palestina

Opini

Mengulik Ranjang Kampus Jantong Hatee Rakyat Aceh; Berbagi Tugas ataukah Merenggang?